RIZCA MAGHFIROH

Kurnia Ramadani

Taufiq Qurrahman

Arif Hendri

M. Umar Saifudin (Kabid PTKP)

NILAI DASAR PERJUANGAN HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI)


I. DASAR-DASAR KEPERCAYAAN
Manusia memerlukan suatu bentuk kepercayaan. Kepercayaan itu akan melahirkan tata nilai guna menopang hidup dan budayanya. Sikap tanpa percaya atau ragu yang sempurna tidak mungkin dapat terjadi.Tetapi selain kepercayaan itu dianut karena kebutuhan dalam waktu yang sama juga harus merupakan kebenaran. Demikian pula cara berkepercayaan harus pula benar. Menurut kepercayaan yang salah bukan saja tidak dikehendaki akan tetapi bahkan berbahaya.

Disebabkan kepercayaan itu diperlukan, maka dalam kenyataan kita temui bentuk-bentuk kepercayaan yang beraneka ragam di kalangan masyarakat. Karena bentuk-bentuk kepercayaan itu berbeda satu dengan yang lain, maka sudah tentu ada dua kemungkinan. Kesemuanya itu salah atau salah satu saja diantaranya yang benar. Disamping itu masing-masing bentuk kepercayaan mungkin mengandung unsur-unsur kebenaran dan kepalsuan yang campur baur.

Sekalipun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa kepercayaan itu melahirkan nilai-nilai. Nilai-nilai itu kemudian melembaga dalam tradisi-tradisi yang diwariskan secara turun temurun dan mengikat anggota masyarakat yang mendukungnya.karena kecenderungan tradisi untuk tetap mempertahankan diri terhadap kemungkinan perubahan nilai-nilai, maka dalam kenyataan ikatan-ikatan tradisi sering jadi penghambat perkembangan peradaban dan kemajuan manusia. Disinilah terdapat kontradiksi kepercayaan diperlukan sebagai sumber tata nilai guna menopang peradaban manusia, tetapi nilai-nilai itu melembaga dalam tradisi yang membeku dan mengikat, maka justru merugikan peradaban.

Oleh karena itu, pada dasarnya guna perkembangan peradaban dan kemajuannya manusia harus selalu bersedia meninggalkan segala bentuk kepercayaan dan tata nilai yang tradisional dan menganut kepercayaan yang sungguh-sungguh yang merupakan kebenaran. Maka satu-satunya sumber nilai dan pangkal nilai itu haruslah kebenaran itu sendiri. Kebenaran merupakan asal dan tujuan segala kenyataan. Kebenaran yang mutlak adalah Tuhan Allah.

Perumusan kalimat persaksian (syahadat) Islam yang kesatu : Tiada Tuhan selain Allah  mengandung gabungan antara peniadaan dan pengecualian. Perkataan “Tiada Tuhan” meniadakan segala bentuk kepercayaan, sedangkan perkataan “Selain Allah” memperkecualikan satu kepercayaan pada satu kebenaran. Dengan peniadaan itu dimaksudkan agar manusia membebaskan dirinya dari belenggu segenap kepercayaan yang ada dengan segala akibatnya dan dengan pengecualian itu dimaksudkan agar manusia hanya tunduk kepada ukuran kebenaran dalam menetapkan dan memilih nilai-nilai, itu berarti tunduk kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta segala yang ada termasuk manusia. Tunduk dan pasrah itu disebut Islam.

Tuhan itu ada dan ada secara mutlak hanyalah Tuhan. Pendekatan kearah pengetahuan akan adanya Tuhan dapat ditempuh manusia dengan berbagai jalan, baik yang bersifat intuitif, ilmiah, historis, pengalaman dan lain-lain. Tetapi karena kemutlakan Tuhan dan kenisbian manusia, maka manusia tidak dapat menjangkau sendiri kepada pengertian akan hakekat Tuhan yang sebenarnya. Namun demikian kelengkapan kepercayaan kepada Tuhan, manusia memerlukan pengetahuan secukupnya tentang ketuhanan dan tata nilai yang bersumber kepada-Nya. Oleh sebab itu diperlukan sesuatu yang lain yang lebih tinggi namun tidak bertentangan dengan insting dan indera.

Sesuatu yang diperlukan itu adalah “Wahyu” yaitu pengajaran atau pemberitahuan yang langsung dari tuhan sendiri kepada manusia. Tetapi sebagaimana kemampuan menerima pengetahuan sampai ketingkat yang tertinggi tidak dimiliki oleh orang. Demikian juga wahyu tidak diberikan kepada setiap orang. Wahyu itu diberikan kepada manusia tertentu yang memenuhi syarat dan dipilih oleh Tuhan sendiri yaitu para Nabi dan Rosul atau utusan Tuhan. Dengan kewajiban para Rosul itu untuk menyampaikannya kepada seluruh ummat manusia. Para Rosul dan Nabi itu telah lewat dalam sejarah semenjak Adam, Nuh,Ibrahim, Musa,Isa atau Yesus anak Mariam sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Muhammad adalah Rasul penghabisan, jadi tiada Rasul lagi sesudahnya. Jadi para Nabi dan Rasul itu adalah manusia biasa dengan kelebihan bahwa mereka menerima wahyu dari Tuhan.

Wahyu Tuhan yang diberikan kepada Muhammad SAW terkumpul seluruhnya dalam kitab suci Al-Qur’an. Selain berarti bacaan kata Al-Qur’an juga berarti “kumpulan” atau kompilasi, yaitu kompilasi dari segala keterangan. Sekalipun garis-garis besar Al-Qur’an merupakan suatu kompendium yang singkat namun mengandung keterangan-keterangan tentang segala sesuatu sejak dari sekitar alam dan manusia sampai kepada hal-hal gaib yang tidak mungkin diketahui manusia dengan cara lain. (16: 89)

Jadi untuk memahami Ketuhanan Yang Maha Esa dan ajaran-ajaran-Nya manusia harus berpegang teguh pada Al-Qur’an dengan terlebih dahulu mempercayai kerasulan Muhammad SAW. Maka kalimat persaksian yang kedua memuat esensi kedua dari kepercayaan yang harus dianut manusia, yaitu bahwa Muhammad adalah Rasul Allah.

Kemudian didalam Al-Qur’an didapat keterangan lebih lanjut tentang Ketuhanan Yang Maha Esa, ajaran-ajaran-Nya yang merupakan garis besar dan jalan hidup yang mesti diikuti oleh manusia. Tentang Tuhan antara lain: surat al-Ikhlas (112: 1-4) menerangkan secara singkat ; katakanlah :”Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa. Dia itu adalah Tuhan. Tuhan tempat menaruh segala harapan. Tiada ia berputra dan tiada pula berbapa. Selanjunya Ia adalah Maha Kuasa, Maha Mengetahui,Maha Adil, maha Bijaksana, Maha Kasih, dan Maha Sayang, Maha Pengampun dan seterusnya daripada segala sifat kesempurnaan yang selayaknya bagi yang maha Agung dan Maha Mulia, Tuhan seru sekalian Alam.

Juga diterangkan bahwa Tuhan adalah yang pertama dan yang penghabisan, yang lahir dan yang batin (57: 3), dan “kemanapun manusia berpaling maka disanalah wajah Tuhan”.(2: 115) dan ”dia itu bersama kamu dimanapun kamu berada”(57: 4) .Jadi Tuhan tidak terikat ruang dan waktu.

Sebagai “yang pertama dan yang penghabisan”, maka sekaligus Tuhan adalah asal dan tujuan segala yang ada, termasuk tata nilai. Artinya; sebagaimana tata nilai harus bersumber kepada kebenaran dan berdasarkan kecintaan kepada-Nya, iapun sekaligus menuju kebenaran dan mengarah kepada  “persetujuan” atau ”ridhonya”. Inilah kesatuan antara asal dan tujuan hidup yang sebenarnya (Tuhan sebagai tujuan hidup yang benar, diterangkan dalam bagian yang yang lain).

Tuhan menciptakan alam raya ini dengan sebenarnya, dan mengaturnya dengan pasti (6: 73, 25: 2). Oleh karena itu alam mempunyai eksistensi yang riil dan obyektif, serta berjalan mengikuti hukum-hukum yang tetap. Dan sebagai ciptaan dari padanya sebaik-baiknya penciptanya, maka alam mengandung kebaikan pada dirinya dan teratur secara harmonis (23: 14). Nilai ciptaan ini untuk manusia bagi keperluan perkembangan peradabannya (31: 20). Maka alam dapat dan dijadikan obyek penyelidikan guna mengerti hukum-hukum Tuhan (sunnatullah) yang berlaku didalamnya, kemudian manusia memanfaatkan alam sesuai dengan hukum-hukumnya sendiri (10: 101).

Jika kenyataan alam ini berbeda dengan persangkaan idealisme maupun agama Hindu yang mengatakan bahwa alam tidak mempunyai eksistensi riil dan obyektif , melainkan semua palsu atau maya atau sekedar emansipasi atau pancaran daripada dunia lain yang konkrit yaitu idea atau nirwana (38: 27). Juga tidak seperti dikatakan filasafat Agnosticisme yang mengatakan bahwa alam tidak mungkin dimengerti manusia. Dan sekalipun filsafat materialisme mengatakan bahwa alam ini mempunyai eksistensi riil dan obyektif sehingga dapat dimengerti oleh manusia, namun filsafat itu mengatakan bahwa alam ada dengan sendirinya. Peniadaan pencipta ataupun peniadaan Tuhan adalah satu sudut daripada filasafat materialisme.


Manusia adalah puncak ciptaan dan makhluk-Nya yang tertinggi (95: 4, 17: 70). Sebagai makhluk tertinggi manusia dijadikan “khalifah” atau wakil Allah di bumi (6: 165). Manusia ditumbuhkan dari bumi dan diserahi untuk memakmurkannya (11: 61). Maka urusan di dunia telah diserahkan Tuhan kepada manusia. Manusia sepenuhnya bertanggung jawab atas segala perbuatannya didunia. Perbuatan manusia ini membentuk rentetan peristiwa yang disebut “sejarah”. Dunia adalah wadah bagi sejarah, dimana manusia menjadi pemilik atau “rajanya”.

Sebenarnya terdapat hukum-hukum Tuhan yang pasti (sunnatullah) yang menguasai sejarah, sebagaimana adanya hukum yang menguasai alam tetapi berbeda dengan alam yang telah ada secara otomatis tunduk kepada sunnatullah itu, manusia karena kesadaran dan kemampuannya untuk mengadakan pilihan untuk tidak terlalu tunduk kepada hukum-hukum kehidupannya sendiri (33: 720). Ketidakpatuhan itu disebabkan karena sikap menentang atau kebodohan.

Hukum dasar alami daripada segala yang ada inilah “perubahan dan perkembangan”, sebab : segala sesuatu ini adalah berasal dari Tuhan dan pengembangan oleh-Nya dalam suatu proses yang tiada henti-hentinya (29: 20). Segala sesuatu ini adalah berasal dari Tuhan dan menuju kepada Tuha, maka satu-satunya yang tak mengenal perubahan hanyalah Tuhan sendiri, asal dan tujuan segala  sesuatu (28: 88). Didalam memenuhi tugas sejarah, manusia harus berbuat sejalan dengan arus perkembangan itu menuju kepada kebenaran. Hal itu berarti bahwa manusia harus selalu berorientasi kepada kebenaran, dan untuk itu harus mengetahui jalan menuju kebenaran itu (17: 72). Dia tidak mesti selalu mewarisi begitu saja nilai-nilai tradisional yang tidak diketahuinya dengan pasti akan kebenarannya(17: 26).

Oleh karena itu kehidupan yang baik adalah yang disemangati oleh iman dan ilmu (58: 11). Bidang iman dan pencabangannya menjadi wewenang wahyu sedangkan bidang ilmu pengetahuan menjadi wewenang manusia untuk mengusahakan dan mengumpulkannya dalam kehidupan dunia ini. Ilmu itu meliputi tentang alam dan tentang manusia (sejarah).

Untuk memperoleh ilmu pengetahuan tentang nilai kebenaran sejauh mungkin, manusia harus melihat alam dan kehidupan ini sebagaimana adanya tanpa meletakkan padanya kualitas-kualitas yang bersifat ketuhanan. Sebab sebagaimana diterangkan dimuka, alam diciptakan dengan wujud yang nyata dan obyektif sebagaimana adanya. Alam tidak menyerupai Tuhan, dan Tuhanpun untuk sebagian atau seluruhnya tidak sama dengan alam. Sikap memper-Tuhan-kan atau mensucikan (sakralisasi) haruslah ditujukan kepada Tuhan sendiri. Tuhan Allah Yang Maha Esa (41: 37).

Ini disebut “Tauhid” dan lawannya disebut “Syirik” artinya mengadakan tandingan terhadap tuhan, baik seluruhnya atau sebagian maka jelasnya bahwa syirik menghalangi perkembangan dan kemajuan peradaban, kemanusiaan menuju kebenaran.

Kesudahan sejarah atau kehidupan duniawi ini ialah “hari kiamat”. Kiamat merupakan permulaan bentuk kehidupan yang tidak lagi bersifat sejarah atau duniawi, yaitu kehidupan akhirat. Kiamat disebut juga “hari agama” atau yaumuddin dimana Tuhan menjadi satu-satunya pemilik dan raja (1: 4, 22: 56, 40: 16). Disitu tidak lagi terdapat kehidupan historis, seperti kebebasan, usaha, dan tata masyarakat. Tetapi yang ada adalah pertanggung jawaban individu manusia yang bersifat mutlak dihadapan Ilahi atas segala perbuatannya dahulu didalam sejarah (2; 48). Selanjutnya kiamat merupakan “hari agama”, maka tidak ada yang mungkin kita ketahui selain daripada yang diterangkan dalam wahyu. Tentang hari kiamat dan kelanjutannya / kehidupan akhirat yang non historis manusia diharuskan percaya tanpa kemungkinan mengetahui kejadian-kejadiannya (7: 187).

    1. PENGERTIAN-PENGERTIAN DASAR TENTANG KEMANUSIAAN.
Telah disebutkan dimuka, bahwa manusia adalah puncak ciptaan, merupakan makhluk yang tertinggi dan adalah wakil dari Tuhan dibumi. Sesuatu yang membuat manusia yang menjadi manusia bukan hanya beberapa sifat atau beberapa kegiatan yang ada padanya melainkan suatu keseluruhan susunan sebagai sifat-sifat dan kegiatan-kegiatan yang khusus dimiliki manusia saja yaitu Fitrah. Fitrah membuat manusia berkeinginan suci dan secara kodrati cenderung kepada kebenaran (Hanief) (30: 30). “Dlamir” atau hati nurani adalah pemancar keinginan pada kebaikan, kesucian dan kebenaran. Tujuan hidup manusia ialah kebenaran yang mutlak atau kebenaran yang terakhir, yaitu Tuhan Yang Maha Esa (51: 56, 3: 156)

Fitrah merupakan bentuk keseluruhan tentang diri manusia yang secara asasi dan prinsipil membedakannya dari makhluk-makhluk yang lain. Dengan memenuhi hati nurani,seseorang berada dalam fitrahnya dan menjadi manusia sejati.

Kehidupan dinyatakan dalam kerja atau amal perbuatannya (19: 105, 53: 39). Nilai-nilai tidak dapat dikatakan hidup dan berarti sebelum menyatakan diri dalam kegiatan-kegiatan amaliah yang konkrit (61: 2-3). Nilai hidup manusia tergantung kepada nilai kerjanya. Di dalam dan melalui amal perbuatan yang berperikemanusiaan (fitrah sesuai dengan tuntutan hati nurani) manusia mengecap kebahagiaan, dan sebaliknya di dalam dan melalui amal perbuatan yang tidak berperikemanusiaan (jihad) ia menderita kepedihan (16: 97, 4: 111).

Hidup yang penuh dan berarti ialah yang dijalani dengan sungguh-sungguh dan sempurna, yang didalamnya manusia dapat mewujudkan dirinya dengan mengembangkan kecakapan-kecakapan dan memenuhi keperluan-keperluannya. Manusia yang hidup berarti dan berharga ialah dia yang merasakan kebahagiaan dan kenikmatan dalam kegiatan-kegiatan yang membawa perubahan kearah kemajuan-kemajuan baik yang mengenai alam maupun masyarakat yaitu hidup berjuang dalam arti yang seluas-luasnya (29: 6).

Dia diliputi oleh semangat mencari kebaikan, keindahan dan kebenaran (4: 125). Dia menyerap segala sesuatu yang baru dan berharga sesuai dengan perkembangan kemanusiaan dan menyatakan dalam hidup berperadaban dan berkebudayaan (39: 18). Dia adalah aktif, kreatif dan kaya akan kebijaksanaan (wisdom, hikmah) (2: 269). Dia berpengalaman luas, berpikir bebas, berpandangan lapang dan terbuka, bersedia mengikuti kebenaran dari manapun datangnya (6: 125). Dia adalah manusia toleran dalam arti kata yang benar, penahan amarah dan pemaaf (3: 134). Keutamaan itu merupakan kekayaan manusia yang menjadi milik daripada pribadi-pribadi yang senantiasa berkembang dan selamanya tumbuh kearah yang lebih baik.

Seorang manusia sejati (insan kamil) ialah yang kegiatan mental dan phisiknya merupakan suatu keseluruhan. Kerja jasmani dan kerja rohani bukanlah dua kenyataan yang terpisah. Malahan dia tidak mengenal perbedaan antara kerja dan kesenangan, kerja baginya adalah kesenggangan dan kesenangan ada dalam dan melalui kerja. Dia berkepribadian, merdeka, memiliki dirinya sendiri, menyatakan keluar corak perorangannya mengembangkan kepribadian dan wataknya secara harmonis. Dia tidak mengenal perbedaan antara kehidupan individu dan kehidupan komunal, tidak membedakan antara perorangan dan sebagai anggota masyarakat, hak dan kewajiban serta kegiatan-kegiatan untuk dirinya adalah juga sekaligus untuk sesama ummat manusia.

Baginya tidak ada pembagian dua (dichotomy) antara kegiatan-kegiatan rohani dan jasmani, pribadi dan masyarakat, agama dan politik maupun dunia akhirat. Kesemuanya dimanifestasikan dalam suatu kesatuan kerja yang tunggal pancaran niatnya, yaitu mencari kebaikan, keindahan, dan kebenaran (98: 5).

Dia seorang yang ikhlas, artinya seluruh amal perbuatannya  benar-benar berasal dari dalam dirinya dan merupakan pancaran langsung daripada kecenderungannya yang suci nan murni (2: 207, 76:89). Suatu pekerjaan dilakukan karena keyakinan akan nilai pekerjaan itu sendiri bagi kebaikan dan kebenaran, bukan karena hendak memperolah tujuan lain yang nilainya lebih rendah (pamrih) (2:264). Kerja yang ikhlas mengangkat nilai kemanusiaan pelakunya dan memberinya kebahagiaan (35: 10). Hal itu akan menghilangkan sebab-sebab suatu jenis pekerjaan ditinggalkan dan kerja amal akan menjadi kegiatan kemanusiaan yang paling berharga. Keikhlasan adalah kunci kebahagiaan hidup manusia, tidak ada kebahagiaan sejati tanpa keikhlasan dan keikhlasan selalu menimbulkan kebahagiaan.

Hidup fitrah adalah bekerja secara ikhlas yang memancarkan dari hati nurani yang hanief atau suci.
                      
    1. KEMERDEKAAN MANUSIA (IKHTIAR) DAN KEHARUSAN UNIVERSAL (TAQDIR).
Keikhlasan yang insani itu tidak mungkin ada tanpa kemerdekaan. Kemerdekaan dalam arti kerja suka rela tanpa paksaan yang didorong oleh kemauan yang murni. Kemerdekaan dalam pengertian kebebasan memilih sehingga pekerjaan itu benar-benar dilakukan sejalan dengan hati nurani. Keikhlasan merupakan pernyataan kreatif kehidupan manusia yang berasal dari perkembangan yang tak terkekang daripada kemauan baiknya. Keikhlasan adalah gambaran terpenting daripada kehidupan manusia sejati. Kehidupan sekarang didunia dan abadi (external) berupa kehidupan kelak sesudah mati di akhirat. Dalam aspek pertama manusia melakukan amal perbuatan dengan baik dan buruk yang harus dipikul secara individual, dan komunal sekaligus (8: 25). Sedangkan dalam aspek kedua manusia tidak lagi melakukan amal perbuatan melainkan hanya menerima akibat baik dan buruknya dari amalnya dahulu di dunia secara individual. Di akherat tidak terdapat pertanggung jawaban bersama, tapi hanya ada pertanggungjawaban perseorangan yang mutlak (2: 48, 31: 33). Manusia dilahirkan sebagai individu, hidup di tengah alam dan masyarakat sesamanya, kemudian menjadi individu kembali.

Jadi individualitas adalah pernyataan asasi yang pertama dan yang terakhir dari pada kemanusiaan, serta letak kebenarannya dari pada nilai kemanusiaan itu sendiri. Karena individu adalah penanggung jawab terakhir dan mutlak daripada awal perbuatannya, maka kemerdekaan pribadi, adalah haknya yang pertama dan asasi.

Tetapi individualitas hanyalah pernyataan yang asasi dan primer saja dari pada kemanusiaan. Kenyataan lain sekalipun sifat sekunder ialah bahwa individu dalam suatu hubungan tertentu dengan dunia sekitarnya. Manusia hidup ditengah alam sebagai makhluk sosial hidup ditengah sesama. Dari segi ini manusia adalah bagian dari keseluruhan alam yang merupakan satu kesatuan.

Oleh karena itu kemerdekaan harus diciptakan untuk pribadi dalam konteks hidup ditengah masyarakat. Sekalipun kemerdekaan adalah esensi daripada kemanusiaan tidak berarti bahwa manusia selalu dan dimana saja merdeka. Adanya batas-batas dari kemerdekaan adalah suatu kenyataan. Batas-batas tertentu itu dikarenakan adanya hukum-hukum yang pasti dan tetap menguasai alam. Hukum yang menguasai benda-benda maupun masyarakat manusia sendiri yang tidak tunduk dan tidak pula bergantung kepada kemauan manusia. Hukum-hukum itu mengakibatkan adanya ”keharusan Universal” atau ”kepastian hukum” dan “takdir” (57: 22)

Jadi kalau kemerdekaan pribadi diwujudkan dalam konteks hidup ditengah alam dan masyarakat dimana terdapat keharusan universal yang tidak tertaklukkan, maka apakah bentuk yang harus dimiliki oleh seseorang kepada dunia sekitarnya?. Sudah tentu bukan hubungan penyerahan, sebab penyerahan berarti peniadaan terhadap kemerdekaan itu sendiri. Pengakuan akan adanya keharusan universal yang diartikan sebagai penyerahan kepadanya sebelum suatu usaha dilakukan berarti perbudakan. Pengakuan akan adanya kepastian umum atau takdir hanyalah pengakuan akan adanya batas-batas kemerdekaan. Sebaliknya suatu persyaratan yang positif daripada kemerdekaan adalah pengetahuan akan adanya kemungkinan-kemungkinan kreatif manusia. Yaitu tempat bagi adanya usaha yang bebas dan dinamakan”IKHTIAR”artinya pilih merdeka.

Ikhtiar adalah kegiatan kemerdekaan dari individu, juga berarti kegiatan diri manusia merdeka. Ikhtiar merupakan uasaha yag ditentukan sendiri dimana mmanusia berbuat sebagai pribadi banyak segi yang integral dan bebas dan dimana manusia tidak diperbudak oleh suatu yang lain kecuali keinginannya sendiri dan kecintaannya terhadap kebaikan. Tanpa adanya kesempatan untuk berbuat atau berikhtiar, manusia menjadi tidak merdeka dan menjadi tidak bisa dimengerti untuk memberikan pertanggung jawaban pribadi dari amal perbuatannya. Kegiatan merdeka berarti perbuatan manusia yang merubah dunia dan nasibnya sendiri. Jadi sekalipun terdapat keharusan universal atau takdir manusia dengan haknya untuk berikhtiar mempunyai peranan penting nan aktif serta menentukan bagi dunia dan dirinya sendiri.

Manusia tidak dapat berbicara mengenai takdir suatu kejadian sebelum kejadian itu menjadi suatu kenyataan. Maka percaya kepada takdir akan membawa keseimbangan jiwa tidak terlalu berputus asa karena suatu kegagalan dan tidak perlu membanggakan diri karena suatu kemunduran. Sebab segala sesuatu tidak hanya terkandung pada dirinya sendiri, melainkan juga kepada keharusan yang universal itu (57:23).

    1. KETUHANAN YANG MAHA ESA DAN KEMANUSIAAN.
Telah jelas bahwa hubungan yang benar antara  individu manusia dengan dunia sekitarnya bukan hubungan penyerahan. Sebab penyerahan meniadakan kemerdekaan dan keikhlasan dan kemanusiaan. Tetapi jelas pula bahwa tujuan manusia hidup merdeka dengan segala kegiatannya ialah kebenaran. Oleh karena itu sekalipun  tidak tunduk pada sesuatu apapun dari dunia sekelilingnya, namun manusia merdeka masih dan mesti tunduk kepada kebenaran. Karena menjadikan sesuatu sebagai tujuan adalah berarti pengabdian kepada-Nya.

Jadi kebenaran-kebenaran menjadi tujuan hidup dan apabila demikian maka sesuai denagan pembicaraan terdahulu maka tujuan hidup yang terakhir dan mutlak ialah kebenaran terakhir dan mutlak sebagai tujuan dan tempat menundukkan diri. Adakah kebenaran terakhir dan mutlak itu?. Ada, sebagaimana tujuan akhir dan mutlak daripada hidup itu ada. Karena sikapnya yang terakhir (ultimate) dan mutlak maka sudah pasti kebenaran itu hanya satu secara mutlak pula.

Dalam perbendaharaan kata dan kulturil, kita sebut kebenaran mutlak itu “Tuhan” kemudian sesuai dengan uraian Bab I, Tuhan itu menyatakan diri kepada manusia sebagai Allah (31: 30). Karena kemutlakannya, Tuhan bukan saja tujuan segala kebenaran (3: 60). Maka dia adalah Yang Maha Benar. Setiap pikiran Yang Maha Benar adalah pada hakikatnya pikiran tentang Tuhan YME.

Oleh sebab itu seorang manusia merdeka ialah yang berke-Tuhanan Yang Maha Esa. Keikhlasan tiada lain adalah kegiatan yang dilakukan semata-mata bertujuan kepada Tuhan YME, yaitu kebenaran mutlak guna memperolah persetujuan atau ”ridho” daripada-Nya. Sebagaimana kemanusiaan terjadi karena adanya kemerdekaan dan kemerdekaan ada karena adanya tujuan kepada Tuhan semata-mata. Hal itu berarti segala bentuk kegiatan hidup dilakukan hanyalah karena nilai kebenaran itu yang terkandung didalamnya guna mendapat persetujuan atau ridho kebenaran mutlak. Dan hanya pekerjaan “karena Allah”itulah yang bakal memberikan rewarding bagi kemanusiaan (92: 19-21).

Kata ”iman” berarti percaya, dalam hal ini percaya kepada Tuhan sebagai tujuan hidup yang mutlak dan tempat mengabdikan diri kepada-Nya. Sikap menyerahkan diri dan mengabdi kepada Tuhan itu disebut Islam. Islam menjadi nama segenap ajaran pengabdian kepada Tuhan YME (3: 19). Pelakunya disebut “muslim”. Tidak lagi diperbudak oleh sesama manusia atau sesuatu yang lain dari dunia sekelilingnya, manusia muslim adalah manusia yang merdeka yang menyerahkan dan menyembahkan diri kepada Tuhan YME (33: 39). Semangat Tauhid (memutuskan pengabdian hanya kepada Tuhan YME) menimbulkan kesatuan tujuan hidup, kesatuan kepribadian dan kemasyarakatan. Kehidupan bertauhid tidak lagi berat sebelah, parsial dan terbatas. Manusia bertauhid adalah manusia sejati dan sempurna yang kesadaran akan dirinya tak mengenal batas.

Dia adalah pribadi manusia yang sifat perorangannya adalah keseluruhan (totalitas) dunia kebudayaan dan peradaban. Dia memiliki seluruh dunia ini dalam arti kata mengambil bagian sepenuh mungkin dalam menciptakan dan menikmati kebaikan-kebaikan dan peradaban kebudayaan.

Pembagian kemanusiaan tidak selaras dengan dasar kesatuan kemanusiaan (human totality) itu antara lain, ialah pemisahan antara eksistensi ekonomi dan moral manusia, antara kegiatan duniawi dan ukhrawi antara tugas-tugas peradaban dan agama. Demikian juga sebaliknya, anggapan bahwa manusia adalah tujuan pada dirinya membela kemanusiaan seseorang menjadi: manusia sebagai pelaku kegiatan dan manusia sebagai tujuan kegiatan. Kepribadian yang pecah berlawanan dengan kepribadian kesatuan (human totality) yang homogen dan harmonis pada dirinya sendiri:jadi berlawanan dengan kemanusiaan.

Oleh karena hakikat hidup adalah amal perbuatan atau kerja, maka nilai-nilai tidak dapat dikatakan ada sebelum menyatakan diri dalam kegiatan-kegiatan konkrit dan nyata (26: 226). Kecintaan kepada Tuhan sebagai kebaikan, keindahan dan kebenaran yang mutlak dengan sendirinya memancar dalam kehidupan sehari-hari dalam hubungannya dengan alam dan masyarakat berupa usaha-usaha yang nyata guna menciptakan sesuatu yang membawa kebaikan, keindahan dan kebenaran bagi sesama manusia “amal saleh” (harfiah:pekerjaan yang selaras dengan kemanusiaan) merupakan pancaran langsung daripada iman (lihat Qur’an aamanu wa’amilushshaalihaat, tidak kurang dari 50 x pengulangan kombinasi kata). Jadi ketuhanan YME memancar dalam prikemanusiaan. Sebaliknya karena kemanusiaan adalah kelanjutan kecintaan kepada kebenaran maka tidak ada perikemanusiaan tanpa ke-Tuhanan YME. Perikemanusiaan tanpa Ketuhanan adalah tidak sejati (24: 39). Oleh karena itu semangat Ketuhanan YME dan semangat mencari ridho daripada-Nya adalah dasar peradaban yang benar dan kokoh. Dasar selain itu pasti goyah dan akhirnya membawa keruntuhan peradabannya ( 9: 109).

"Syirik” merupakan kebalikan dari Tauhid, secara harfiah artinya mengadakan tandingan dalam hal ini kepada Tuhan. Syirik adalah sifat menyerah dan menghambakan diri kepada sesuatu selain kebenaran baik kepada manusia maupun alam. Karena sifatnya yang meniadakan kemerdekaan asasi, syirik merupakan kejahatan terbesar kepada kemanusiaan (31: 13). Pada hakikatnya segala bentuk kejahatan dilakukan orang karena syirik (6: 82). Sebab dalam melakukan kejahatan itu dia menghambakan diri kepada motif yang mendorong dilakukannya kejahatan tersebut yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kebenaran. Demikian pula karena syirik seseorang mengadakan pamrih atas pekerjaan yang dilakukannya (Hadits: “Sesungguhnya sesuatu yang paling aku khawatirkan menimpa kamu sekalian adalah syirik kecil, yaitu riya’-pamrih”. HR Ahmad, hadits hasan). Dia bekerja bukan karena nilai pekerjaan itu sendiri dalam hubungannya dengan kebaikan, keindahan dan kebenaran, tetapi karena hendak memperoleh sesuatu yang lain.

“Musyrik” adalah pelaku dari pada syirik. Seseorang yang menghambakan diri kepada sesuatu selain Tuhan baik manusia maupun alam dinamakan syirik, sebab dia mengangkat sesuatu selain Tuhan setingkat dengan Tuhan (3: 64). Demikian pula seseorang yang menghambakan (sebagaimana dengan tiran atau diktator) adalah musyrik, sebab dia mengangkat dirinya sendiri setingkat dengan Tuhan (28: 4). Kedua perlakuan itu merupakan penentang terhadap kemanusiaan, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.

Maka sikap berperikemanusiaan adalah sikap adil, yaitu sikap menempatkan sesuatu kepada tempatnya yang wajar, seseorang yang adil (wajar) ialah yang memandang manusia. Tidak melebihkan sehingga menghambakan dirinya kepada-Nya. Dia selalu menyimpan I’tikad baik dan lebih baik (ihsan) maka kebutuhan menimbulkan sikap adil kepada manusia (16: 90).

    1. INDIVIDU DAN MASYARAKAT.
Telah diterangkan dimuka bahwa pusat kemanusiaan adalah masing-masing pribadinya dan bahwa kemerdekaan pribadi adalah hak asasinya yang pertama. Tidak sesuatu yang lebih berharga daripada kemerdekaan itu. Juga telah dikemukakan bahwa manusia hidup dalam suatu bentuk hubungan tertentu dengan dunia sekitarnya, sebagai makhluk sosial manusia tidak mungkin memenuhi kebutuhan kemanusiaannya dengan baik tanpa berada ditengah sesamanya dalam bentuk-bentuk hubungan tertentu.

Maka dalam masyarakat itulah kemerdekaan asasi diwujudkan. Justru karena adanya kemerdekaan pribadi itu maka timbul perbedaan-perbedaan antara suatu pribadi dengan lainnya (43: 32). Sebenarnya perbedaan-perbedaan itu adalah untuk kebaikannya sendiri: sebab kenyataan yang penting dan prinsipil, ialah bahwa kehidupan ekonomi, sosial dan kultural menghendaki pembagian kerja yang berbeda-beda (5: 48).

Pemenuhan suatu bidang kegiatan guna kepentingan masyarakat adalah suatu keharusan, sekalipun hanya oleh sebagian anggota saja (92: 4). Namun sejalan dengan prinsip kemanusiaan dan kemerdekaan, dalam kehidupan yang teratur tiap-tiap orang harus diberi kesempatan untuk memilih dari beberapa kemungkinan dan untuk berpindah dari satu lingkungan ke lingkungan lainnya (17: 84, 39: 39). Peningkatan kemanusiaan tidak dapat terjadi tanpa memberikan kepada setiap orang keleluasaan untuk mengembangkan kecakapannya melalui aktifitas dan kerja yang sesuai dengan kecenderungannya dan bakatnya.

Namun inilah kontradiksi yang ada pada manusia dia adalah makhluk yang sempurna dengan kecerdasan dan kemerdekaannya dapat berbuat baik kepada sesamanya, tetapi pada waktu yang sama ia merasakan adanya pertentangan yang konstan dan keinginan tak terbatas sebagai hawa nafsu. Hawa nafsu cenderung kearah merugikan orang lain (kejahatan) dan kejahatan dilakukan orang karena mengikuti hawa nafsu (12: 53, 30: 29).

Ancaman atas kemerdekaan masyarakat, dan karena itu juga berarti ancaman terhadap kemerdekaan pribadi anggotanya ialah keinginan tak terbatas atau hawa nafsu tersebut, maka selain kemerdekaan persamaan hak antara sesama manusia adalah esensi kemanusiaan yang harus ditegakkan. Realisasi persamaan dicapai dengan membatasi kemerdekaan. Kemerdekaan tak terbatas hanya dapat dipunyai satu orang, sedangkan untuk lebih dari satu orang, kemerdekaan tak terbatas tidak dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan kemerdekaan seseorang dibatasi oleh kemerdekaan orang lain. Pelaksanaan kemerdekaan tak terbatas hanya berarti pemberian kemerdekaan pada pihak yang kuat atas yang lemah (perbudakan dalam segala bentuknya) sudah tentu hak itu bertentangan dengan dengan prinsip keadilan. Kemerdekaan dan keadilan merupakan dua nilai yang saling menopang. Sebab harga diri manusia terletak pada adanya hak bagi orang lain untuk mengembangkan kepribadiannya. Sebagai kawan hidup dengan tingkat yang sama. Anggota masyarakat harus saling menolong dalam membentuk masyarakat yang bahagia (5: 2).

Sejarah dan perkembangannya bukanlah suatu yang tidak mungkin dirubah. Hubungan yang benar antara manusia dengan sejarah bukanlah penyerahan pasif , tetapi sejarah ditentukan oleh manusia sendiri. Tanpa pengertian ini adanya adzab Tuhan (akibat buruk) dan pahala (akibat baik) bagi suatu amal perbuatan mustahil ditanggung manusia (99: 7-8). Manusia merasakan akibat amal perbuatannya sesuai dengan ikhtiar dalam hidup ini (dalam sejarah) dalam hidup kemudian (sesudah sejarah) (9: 74, 16: 30). Semakin seseorang bersungguh-sungguh dalam kekuatan yang bertanggung jawab dengan kesadaran yang terus menerus akan tujuan dalam membentuk masyarakat semakin ia mendekati tujuan (26: 69).

Manusia mengenali dirinya makhluk yang nilai dan martabatnya sepenuhnya dinyatakan, jika ia mempunyai kemerdekaan tidak saja mengatur hidupnya sendiri tetapi juga untuk memperbaiki dengan sesama manusia dalam lingkungan masyarakat. Dasar hidup gotong royong ini ialah keistimewaan dan kecintaan sesama manusia dalam pengakuan akan adanya persamaan dan kehormatan bagi setiap orang (49: 13, 49: 10).

    1. KEADILAN SOSIAL DAN KEADILAN EKONOMI.
Telah kita bicarakan tentang hubungan antara individu dengan masyarakat dimana kemerdekaan dan pembatas kemerdekaan saling bergantungan, dan dimana perbaikan kondisi masyarakat tergantung pada perencanaan manusia dan usaha-usaha bersamanya. Jika kemerdekaan dicirikan dalam bentuk yang tidak bersyarat (kemerdekaan tak terbatas) maka sudah terang setiap orang diperbolehkan mengejar dengan bebas segala keinginan pribadinya.

Akibatnya pertarungan keinginan yang bermacam-macam itu satu sama lain dalam kekacauan atau anarchi (92: 8-10). Sudah barang tentu menghancurkan masyarakat dan meniadakan kemanusiaan sebab itu harus ditegakkan keadilan dalam masyarakat (5: 8). Siapakah yang harus menegakkan keadilan dalam masyarakat?. Sudah barang pasti ialah masyarakat sendiri, tetapi dalam prakteknya diperlukan adanya satu kelompok dalam masyarakat yang karena kualitas-kualitas yang dimilikinya senantiasa mengadakan usaha-usaha menegakkan keadilan itu dengan jalan selalu menganjurkan sesuatu yang bersifat kemanusiaan serta mencegah terjadinya sesuatu yang berlawanan dengan kemanusiaan (2: 104).

Kualitas terpenting yang harus dipunyai, rasa kemanusiaan yang tinggi sebagai pancaran kecintaan yang tak terbatas pada Tuhan. Disamping itu diperlukan kecakapan yang cukup. Kelompok orang-orang itu adalah pemimpin masyarakat atau setidak-tidaknya adalah orang-orang yang seharusnya memimpin masyarakat. . Memimpin adalah menegakkan keadilan, menjaga agar setiap orang memperoleh hak asasinya dan dalam jangka waktu yang sama menghormati kemerdekaan orang lain dan martabat kemanusiaannya sebagai manifestasi kesadarannya akan tanggung jawab sosial.

Negara adalah bentuk masyarakat yang terpenting dan pemerintah adalah susunan masyarakat yang terkuat dan berpengaruh. Oleh sebab itu pemerintah yang pertama berkewajiban menegakkan keadilan. Maksud semula dan fundamental daripada didirikannya negara negara dan pemerintah ialah guna melindungi manusia yang menjadi warga negara daripada kemungkinan perusakan terhadap kemerdekaan dan harga diri sebagai manusia sebaliknya setiap orang mengambil bagian pertanggung jawaban dalam masalah-masalah atas dasar persamaan yang diperoleh melalui demokrasi.

Pada dasarnya masyarakat dengan masing-masing pribadi yang ada didalamnya haruslah memerintah dan memimpin dirinya sendiri (Hadits: “Kullukum raain wakullukum mas’ulun ‘an raiyyatih” HR Bukhori Muslim). Oleh karena itu pemerintah haruslah merupakan kekuatan pimpinan yang lahir dari masyarakat sendiri. Pemerintah haruslah demokratis, berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, menjalankan kebijaksanaan atas persetujuan rakyat berdasarkan musyawarah dan dimana keadilan dan martabat kemanusiaan tidak terganggu (42: 28, 42: 42). Kekuatan yang sebenarnya didalam negara ada ditangan rakyat, dan pemerintah harus bertanggung jawab pada rakyat.

Menegakkan keadilan mencakup penguasaan atas keinginan-keinginan dan kepentingan-kepentingan pribadi yang tak mengenal batas (hawa nafsu) adalah kewajiban dari negara sendiri dan kekuatan-kekuatan sosial untuk menjunjung tinggi prinsip kegotong royongan dan kecintaan sesama manusia. Menegakkan keadilan adalah amanat rakyat kepada pemerintah yang mesti dilaksanakan (4: 58). Ketaatan rakyat kepada pemerintah yang adil merupakan ketaatan kepada diri sendiri yang wajib dilaksanakan. Disadari oleh sikap hidup yang benar, ketaatan kepada pemerintah termasuk dalam lingkungan ketaatan kepada Tuhan (kebenaran mutlak).dan Rasul-Nya (pengajar tentang Kebenaran) (4: 59). Pemerintah yang benar dan harus ditaati ialah mengabdi kepada kemanusiaan, kebenaran dan akhirnya kepada Tuhan YME (5: 45).

Perwujudan menegakkan keadilan yang terpenting dan berpengaruh ialah menegakkan keadilan dibidang ekonomi atau pembagian kekayaan diantara anggota masyarakat. Keadilan menuntut agar setiap orang mendapat bagian yang wajar dari kekayaan atau rejeki. Dalam masyarakat yang tidak mengenal batas-batas individual, sejarah merupakan perjuangan dialektis yang berjalan tanpa kendali dari pertentangan-pertentangan golongan yang didorong oleh ketidakserasian antara pertumbuhan kekuatan produksi disatu pihak dan pengumpulan kekayaan oleh golongan-golongan kecil dengan hak-hak istimewa dilain pihak (57: 20). Karena kemerdekaan tak terbatas mendorong timbulnya jurang-jurang pemisah antara kekayaan dan kemiskinan yang semakin dalam. Proses selanjutnya yaitu bila sudah mencapai batas maksimal pertentangan golongan itu akan menghancurkan sendi-sendi tatanan sosial dan membinasakan kemanusiaan dan peradabannya (17: 16).

Dalam masyarakat yang tidak adil, kekayaan dan kemiskinan akan terjadi dalam kualitas dan proporsi yang tidak wajar sekalipun realitas selalu menunjukkan perbedaan-perbedaan antara manusia dalam kemampuan fisik maupun mental, namun dalam kemiskinan dalam masyarakat dengan pemerintah yang tidak menegakkan keadilan adalah keadilan yang merupakan perwujudan dari kedhaliman. Orang-orang kaya menjadi pelaku daripada kedhaliman sedangkan orang-orang miskin dijadikan sasaran atau korbannya. Oleh karena itu sebagai yang menjadi sasaran kedhaliman, orang-orng miskin berada dipihak yang benar. Pertentangan antara kaum miskin menjadi pertentangan antara kaum yang menjalankan kedhaliman dan yang didhalimi. Dikarenakan kebenaran pasti menang terhadap kebatilan, maka pertentangan itu disudahi dengan kemenangan tak terhindar bagi kaum miskin, kemudian mereka memegang tampuk pimpinan dalam masyarakat (4: 160-161, 26: 182-183, 2: 279, 28: 5).

Kejahatan dibidang ekonomi yang menyeluruh adalah penindasan oleh kapitalisme. Dengan kapitalisme, mudah seseorang memeras orang-orang yang berjuang mempertahankan hidupnya karena kemiskinan, kemudian merampas hak-haknya secara tidak sah, berkat kemampuannya untuk memaksakan persyaratan kerjanya dan hidup kepada mereka. Oleh karena itu menegakkan keadilan mencakup pemberantasan kapitalisme dan segenap akumulasi kekayaan pada sekelompok kecil masyarakat (2: 278-279). Sesudah syirik, kejahatan terbesar kepada kemanusiaan adalah penumpukan harta kekayaan beserta penggunaannya yang tidak benar, menyimpang dari kepentingan umum, tidak mengikuti jalan Tuhan (104: 1-3). Maka menegakkan keadilan inilah membimbing manusia kearah pelaksanaan tata masyarakat yang akan memberikan kepada setiap orang kesempatan yang sama untuk mengatur hidupnya secara bebas dan terhormat (amar ma’ruf) dan pertentangan terus menerus terhadap segala bentuk penindasan kepada manusia kepada kebenaran asasinya dan rasa kemanusiaan (nahi munkar). Dengan perkataan lain harus diadakan restriksi-retriksi atau cara-cara memperoleh, mengumpulkan dan menggunakan kekayaan itu. Cara yang tidak bertentangan dengan kemanusiaan diperbolehkan (yang ma’ruf dihalalkan) sedangkan cara yang bertentangan dengan kemanusiaan dilarang (yang munkar diharamkan) (3: 110).

Pembagian ekonomi secara tidak benar itu hanya ada pada masyarakat yang tidak menjalankan prinsip ketuhanan YME, dalam hal ini pengakuan berketuhanan YME tetapi tidak melaksanakannya sama nilainya dengan tidak berketuhanan sama sekali. Sebab nilai-nilai yang tidak dapat dikatakan hidup sebelum menyatakan diri dalam amal perbuatan yang nyata (61: 2-3).

Dalam suatu masyarakat yang tidak menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya tempat tunduk dan menyerahkan diri, manusia dapat diperbudaknya antara lain oleh harta benda. Tidak lagi seorang pekerja menguasai hasil pekerjaannya tetapi justru dikuasai oleh hasil pekerjaan itu. Produksi seorang buruh memperbesar kapital majikan dan kapital itu selanjutnya lagi memperbudak buruh. Demikian pula terjadi pada majikan bukan ia mnguasai kapital tapi kapital itulah yang menguasainya. Kapital atau kekayaan telah menggenggam dan memberikan sifat-sifat tertentu seperti keserakahan, ketamakan dan kebengisan.

Oleh karena itu menegakkan keadilan bukan saja dengan amar ma’ruf nahi munkar sebagaimana diterapkan dimuka, tetapi juga melalui pendidikan yang intensif terhadap pribadi-pribadi agar tetap mencintai kebenaran dan menyadari secara mendalam akan adanya Tuhan. Sembahyang merupakan pendidikan yang kontinue, sebagai bentuk formil peringatan kepada Tuhan. Sembahyang yang benar akan lebih efektif dalam meluruskan dan membetulkan garis hidup manusia. Sebagaimana ia mencegah kekejian dan kemungkaran (29: 45). Jadi Sembahyang merupakan penopang hidup yang benar (Hadits: “Sembahyang adalah tiang agama. Barangsiapa mengerjakannya berarti menegakkan agama. Barangsiapa meninggalkannya berarti merobohkan agama” HR. Baihaqi). Sembahyang menyelesaikan masalah-masalah kehidupan, termasuk pemenuhan kebutuhan yang ada secara instrinsik pada rohani manusia yang mendalam, yaitu kebutuhan spiritual berupa pengabdian yang bersifat mutlak (31: 30). Pengaabdian yang tidak tersalurkan secara benar kepada Tuhan YME tentu tersalurkan kearah sesuatu yang lain dan membahayakan kamanusiaan. Dalam hubungan telah terdahulu keterangan tentang syirik yang merupakan kejahatan fundamental terhadap kemanusiaan.

Dalam masyarakat yang adil mungkin masih terdapat pembagian manusia menjadi golongan kaya dan miskin. Tetapi hal itu terjadi batas-batas kewajaran dan kemanusiaan dengan pertautan kekayaan dan kemiskinan yang mendekat. Hal itu sejalan dengan dibenarkannya pemilikan pribadi (private ownership) atas harga kekayaan dan adanya perbedaan-perbedaan tak terhindar daripada kemampuan-kemampuan pribadi, fisik maupun mental (30: 37).

Walaupun demikian usaha-usaha kearah perbaikan dalam pembagian rejeki ke arah yang merata tetap harus dijalankan oleh masyarakat. Dalam hal ini zakat adalah penyelesaian terakhir masalah perbedaan kaya dan miskin itu. Zakat dipungut dari orang-orang kaya dalam jumlah presentase tertentu untuk dibagikan kepada orang-orang miskin (9: 60). Zakat dikenakan hanya atas harta yang diperoleh secara benar, syah dan halal saja. Sedang harta yang haram tidak dikenakan zakat tetapi harus dijadikan milik umum guna manfaat bagi rakyat dengan jalan penyitaan oleh pemerintah. Oleh karena itu sebelum penarikan zakat dilakukan, terlebih dahulu harus dibentuk suatu masyarakat yang adil berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dimana tidak lagi didapati cara memperoleh kekayaan secara haram, dimana penindasan atas manusia oleh manusia dihapus (2: 188).

Sebagaimana ada ketetapan tentang bagaimana harta kekayaan itu diperoleh, juga ditetapkan bagaimana mempergunakan harta kekayaan itu. Pemilikan pribadi dibenarkan jika pengggunaan hak itu tidak bertentangan, pemilikan pribadi menjadi batal dan pemerintah berhak mengajukan konfiskasi.

Seorang dibenarkan mempergunakan harta kekayaan dalam batas-batas tertentu yaitu dalam batas yang tidak kurang tetapi juga tidak melebihi rata-rata penggunaan dalam masyarakat (25: 67). Penggunaan yang berlebihan (tabzier atau israf) bertentangan dengan perikemanusiaan (17: 26-27). Kemewahan selalu menjadi provokasi terhadap pertentangan golongan dalam masyarakat membuat akibat destruktif (17: 16). Sebaliknya penggunaan kurang dari rata-rata masyarakat (taqti) merusakkan diri sendiri dalam masyarakat disebabkan membekunya sebagian dari kekayaan umum yang dapat digunakan untuk manfaat bersama (47: 38).

Hal itu semua merupakan kebenaran karena pada hakekatnya seluruh harta kekayaan ini adalah milik Tuhan (10: 55). Manusia seluruhnya diberi hak yang sama atas kekayaan itu dan harus diberikan bagian yang wajar daripadanya (7: 10).

Pemilikan seseorang (secara benar) hanya bersifat relatif sebagaimana amanat dari Tuhan. Penggunaan harta itu sendiri harus sejalan dengan yang dikehendaki Tuhan untuk kepentingan umum (57: 7). Maka kalau terjadi kemiskinan orang-orang miskin diberi hak atas sebagian harta orang-orang kaya terutama yang masih dekat hubungan keluarga (70: 24-25). Adalah kewjiban negara dan masyarakat untuk melindungi kehidupan keluarga dan memberinya bantuan dan dorongan. Negara yang adil menciptakan persyaratan hidup yang wajar sebagaimana yang diperlukan oleh pribadi-pribadi agar dia dan keuarganya dapat mengatur hidupnya secara  terhormat sesuai dengan keinginan-keinginan untuk dapat menerima tanggung jawab atas kegiatan-kegiatannya. Dalam prakteknya hal itu berarti bahwa pemerintah harus membuka jalan yang mudah dan kesempatan yang sama kearah pendidikan, kecakapan yang wajar, kemerdekaan beribadah sepenuhnya dan pembagian kekayaan bangsa yang pantas.


    1. KEMAJUAN DAN ILMU PENGETAHUAN.
Dari seluruh uraian yang telah dikemukakan, dapatlah dikumpulkan dengan pasti bahwa inti daripada kemanusiaan yang suci adalah Iman dan kerja kemanusiaan atau amal saleh (95: 6).

Iman dalam pengertian kepercayaan akan adanya kebenaran mutlak yaitu Tuhan YME, serta menjadikannya satu-satunya tujuan hidup dan tempat pengabdian diri yang terakhir dan mutlak. Sikap itu menimbulkan kecintaan tak terbatas pada kebenaran, kesucian dan kebaikan yang menyatakan dirinya dalam sikap perikemanusiaan. Sikap perikemanusiaan menghasilkan amal saleh artinya amal yang bersesuaian dengan dan meningkatkan kemanusiaan. Sebaik-baiknya manusia ialah yang berguna bagi sesamanya. Tapi bagaimana hal itu harus dilakukan manusia?.

Sebagaimana setiap perjalanan kearah suatu tujuan ialah gerakan kedepan demikian pula perjalanan ummat manusia atau sejarah adalah gerakan maju kedepan. Maka semua nilai dalam kehidupan relatf adanya berlaku untuk suatu tempat dan suatu waktu tertentu. Demikianlah segala sesuatu berubah kecuali tujuan terakhir dari segala yang ada yaitu kebenaran mutlak (Tuhan) (28: 88). Jadi semua yang benar adalah bersumber atau dijabarkan dari ketentuan-ketentuan hukum-hukum Tuhan (6: 57).

Oleh karena itu manusia berikhtiar dan merdeka ialah yang bergerak. Gerakan itu tidak lain dari pada gerak maju kedepan (progresif). Dia adalah dinamis tidak statis. Dia bukanlah seorang tradisional apalagi reaksioner. (17: 36). Dia menghendaki perubahan terus-menerus sejalan dengan arah menuju kebenaran mutlak. Dia senantiasa mencari kebenaran-kebenaran selama perjalanan hidupnya. Kebenaran-kebenaran itu menyatakan dirinya dan ditemukan didalam alam dan sejarahnya sendiri.

Ilmu pengetahuan adalah alat manusia untuk mencari dan menemukan kebenaran-kebenaran dalam hidupnya, sekalipun relatif namun kebenaran-kebenran merupakan tonggak sejarah yang mesti dilalui dalam perjalanan sejarah menuju kebenaran mutlak. Dan keyakinan adalah kebenaran mutlak itu sendiri pada suatu saat dapat dicapai oleh manusia, yaitu ketika mereka telah memahami benar seluruh alam dan sejarahnya sendiri (41: 53).

Jadi ilmu pengetahuan adalah persyaratan dari amal sholeh. Hanya mereka yang dibimbing oleh ilmu pengetahuan dapat berjalan diatas kebenaran-kebenaran yang menyampaikan kepada kepatuhan tanpa reserve kepada Tuhan Yang Maha Esa (35: 28). Dengan iman dan kebenaran ilmu pengetahuan manusia mencapai puncak kemanusiaan yang tertinggi (58: 11).

Ilmu pengetahuan ialah pengertian yang dipunyai oleh manusia secara benar tentang dunia sekitarnya dan dirinya sendiri. Hubungan yang benar antara manusia dan alam sekelilingnya ialah hubungan dan pengarahan. Manusia harus menguasai alam dan masyarakat guna dapat mengarahkannya kepada yang lebih baik. Penguasaan dan kemudian pengarahan itu tidak mungkin dilaksanakan tanpa pengetahuan tentang hukum-hukumnya agar dapat menguasai dan menggunakannya bagi kemenusiaan. Sebab alam tersedia bagi ummat manusia bagi perkembangan pertumbuhan kemanusiaan. Hal itu tidak dapat dilakukan kecuali mengerahkan kemampuan intelektualitas atau rasio (45: 13).

Demikian pula manusia harus memahami sejarah dengan hukum-hukum yang tetap (3: 137). Hukum sejarah yang tetap (sunnatullah untuk sejarah) yaitu garis besarnya ialah bahwa manusia akan menemui kejayaan jka setia kepada kemanusiaan fitrinya dan menemui kehancuran jika menyimpang daripadanya dengan menuruti  hawa nafsu (91: 9-10).

Tetapi cara-cara perbaikan hidup sehingga terus-menerus maju kearah yang lebih baik sesuai dengan fitrah adalah masalah pengalaman. Pengalaman ini harus ditarik darimasa lampau, untuk dapat mengerti masa sekarang dan memperhitungkan masa yang akan datang (12: 111). Menguasai dan mengarahkan masyarakata ialah mengganti kaidah-kaidah umumnya dan membimbngnya kearah kemajuan dan perbaikan.

    1. KESIMPULAN DAN PENUTUP.
Dari seluruh uraian yang telah lalu dapatlah diambil kesimpulan secara garis besar sebagai berikut :
1.            Hidup yang benar dimulai dengan percaya atau iman kepada Tuhan. Tuhan YME dan keinginan mendekat serta kecintaan kepada-Nya yaitu taqwa. Iman dan taqwa nilai yang statis dan abstrak. Nilai-nilai itu memancar dengan sendirinya dalam bentuk kerja nyata bagi kemanusiaan dan amal saleh. Iman tidak memberi arti apa-apa bagi manusia jika tidak disertai dengan usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan yang sungguh-sungguh untuk menegakkan perikehidupan yang benar dalam peradaban dan berbudaya.

2.            Iman dan taqwa dipelihara dan diperkuat dengan melakukan ibadah atau pengabdian formil kepada Tuhan, ibadah mendidik individu agar tetap ingat dan taat kepada Tuhan dan berpegang teguh kepada kebenaran sebagaimana dikehendaki oleh hati nurani yang hanief. Segala sesuatu yang menyangkut bentuk dan cara beribadah menjadi wewenang penuh daripada agama tanpa adanya hak manusia untuk mencampurinya. Ibadat-ibadat yang terus menerus kepada Tuhan menyadarkan manusia akan kedudukannya ditengah alam dan masyarakat dan sesamanya. Ia telah melebihkan sehingga kepada kedudukan Tuhan dengan merugikan orang lain, dan tidak mengurangi kehormatan dirinya sebagai makhluk tertinggi dengan akibat perbudakan diri kepada alam maupun orang lain. Dengan ibadah manusia dididik untuk memiliki kemerdekannya, kemanusiaannya dan dirinya sendiri, sebab ia telah berbuat ikhlas, yaitu pemurnian pengabdian kepada Kebenaran semata.

3.            Kerja kemanusiaan atau amal saleh mengambil bentuknya yang utama dalam usaha yang sugguh-sungguh secara esensial menyangkut kepentingan manusia secara keseluruhan baik dalam ukuran ruang maupun waktu yaitu menegakkan keadilan dalam masyarakat sehingga setiap orang memperoleh harga diri dan martabatnya sebagai manusia. Hal itu berarti usaha-usaha yang terus menerus dilakukan guna mengarahkan masyarakat kepada nilai-nilai yang baik, lebih maju dan lebih insani usaha itu ialah “amar ma’ruf”. Disamping usaha lain untuk mencegah segala bentuk kejahatan dan kemerosotan nilai-nilai kemanusiaan dan nahi munkar. Selanjutnya bentuk keja kemanusiaan yang lebih nyata ialah pembelaan kaum lemah, kaum tertindas dan kaum miskin pada umumnya, serta usaha-usaha kearah peningkatan nasib dan taraf hidup mereka yang wajar dan layak sebagai manusia.

4.            Kesadaran dan rasa tanggung jawab yang besar kepada kemanusiaan melahirkan jihad, yaitu sikap berjuang. Berjuang itu dilakukan dan ditanggung bersama oleh manusia dalam bentuk gotong royong atas dasar kemanusiaan dan kecintaan kepada Tuhan. Perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan menuntut ketabahan, kesabaran dan pengorbanan. Dan dengan jalan itulah kebahagiaan dapat diwujudkan dalam masyarakat manusia. Oleh sebab itu persyaratan bagi berhasilnya perjuangan adalah adanya barisan yang merupakan bangunan yang kokoh kuat. Mereka terikat satu sama lain oleh persaudaraan dan solidaritas yang tinggi dan oleh sikap yang tegas kepada musuh-musuh dari kemanusiaan. Tetapi justru demi kemanusiaan mereka adalah manusia yang toleran. Sekalipun mengikuti jalan yang benar mereka tidak memaksakan kepada orang lain atau golongan lain.


5.            Kerja kemanusiaan atau amal saleh itu merupakan proses perkembangan yang permanen. Perjuangan kemanusiaan berusaha mengarah kepada yang lebih baik, lebih benar. Oleh sebab itu manusia harus mengetahui arah yang benar daripada perkembangan peradaban disegala bidang. Dengan perkataan lain manusia harus mendalami dan selalu mempergunakan ilmu pengetahuan. Kerja manusia dan kerja kemanusiaan tanpa ilmu tidak akan mencapai tujuannya, sebaliknya ilmu tanpa kemanusiaan tidak akan membawa kebahagiaan bahkan menghancurkan peradaban. Ilmu pengetahuan adalah karunia Tuhan yang besar artinya bagi manusia. Mendalami ilmu pengetahuan harus didasari oleh sikap terbuka. Mampu mengungkapkan perkembangan pemikiran tentang kehidupan berperadaban dan berbudaya. Kemudian mengambil dan mengamalkan diantaranya yang terbaik.

Demikian tugas hidup manusia menjadi sangat sederhana yaitu BERIMAN, BERILMU, DAN BERAMAL.

Billahittaufiq wal Hidayah.

Bookmark this post:
StumpleUpon Ma.gnolia DiggIt! Del.icio.us Blinklist Yahoo Furl Technorati Simpy Spurl Reddit Google

Powered By Blogger

NILAI DASAR PERJUANGAN HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI)

 

2011 @HMI Syari'ahSupported by Sarmada corporation